Golek, Golemen, Golkar

Kepada AHD

Amir HusinSupri seorang pengemudi mobil alias supir. Supri, di sini bukan nama sebenarnya, termasuk golek (golongan ekonomi kere). Penghasilannya per bulan Rp 1,5 juta untuk dirinya, istrinya dan tiga anaknya. Jangan sekali-sekali menggunakan ukuran upah minimum regional/kabupaten, karena uang segitu termasuk di atasnya tetapi bukan angka memadai untuk hidup paling minimal. Dibagi berlima, berarti rata-rata orang di keluarga Supri mendapat Rp 300 ribu sebulan. Kalau hitungan per orang USD 1 per hari, impas. Tapi, orang disebut di garis batas miskin kalau USD 2 per hari.

Mendekati lebaran, biasanya golek dan orang-orang menengah cekak kelimpungan cari uang. Lebaran, didului puasa, sudah sejak lama menjadi bulan perayaan konsumerisme. Bulan memberi untung sebesar-besarnya bagi proyek kapitalisme. Bulan penyerahan diri total kepada dunia belanja yang berarti kebendaan duniawi. Ustadz sejagat yang mengutip aneka ayat terjengkang oleh spanduk-spanduk di pusat perbelanjaan: “diskon 70%”, “sale”, atau “hot price”.

Sudah sejak lama konsumerisme menjadi ilah yang menciderai sahadat umat yang berpuasa dan berhari raya Idul Fitri. (Sahadat kerap diterjemahkan: tiada ilah selain Allah).

Tapi Supri sang golek tidak terlalu cemas. Ia tak kuatir dengan kebutuhan membeli beras bakal ketupat, minyak goreng, kue dan bahkan daging. Istrinya sudah dipastikan bakal mendapat kebutuhan-kebutuhan itu dari ‘bank’ yang memang menyediakan. Istri Supri penjual kue seperti risol, bakwan dan pastel. Ajaib ada bank yang menyediakan beras, minyak, nastas dan daging bagi nasabahnya.

“Belum setengah tahun lalu gue bertemu Supri dan kaget-kaget dengan bank yang dipercaya istrinya,” kisah AHD.

Nama istri Supri tidak terdapat di bank-bank swasta atau pemerintah yang setiap bulan dinilai rasio kecukupan modalnya (CAR). Ia menjadi ‘nasabah’ dari apa yang lazim kita dengar sebagai ‘bank keliling’. Saban hari ada orang yang berjalan kaki dengan sebuah buku tebal dan kupon mendatangi rumah-rumah menarik sejumlah uang dari nasabah. Istri Supri menyetor Rp 3 ribu per hari. Itu tabungan yang akan dinikmati saban lebaran. Bentuknya ya itu tadi: beras, minyak, kue dan daging atau sekadar kue dan minyak atau kue dan daging, tergantung dari besaran simpanan. Dengan jumlah Rp 3 ribu per hari, setahun istri Supri menabung Rp 1.080.00 dengan dipotong oleh biaya administrasi Rp 150 per hari.

“Mula-mula ini tidak masuk akal gue bahwa ada orang yang menabung dengan cara itu dan dikhususkan untuk lebaran,” kata AHD lagi.

Tak akan pernah bisa diterima akal. Apalagi di beberapa gedung pemerintah dan lembaga negara di Jakarta yang biasa dilewati Supri untuk mengantar orang yang diributkan adalah tuntutan kenaikan gaji anggota DPR, perbaikan dan pembangunan gedung baru, keinginan mendapat fasilitas mobil mewah, atau keresahan tabungan dolarnya menyusut gara-gara penguatan rupiah. Sesuatu yang nggilani mendengar seorang Menko Perekonomian was-was bila rupiah menguat.

Tapi, praktik ‘perbankan’ a la istri Supri ini membuat AHD menjadi mengerti dan membayangkan bagaimana seharusnya Baitul Mal wat Tamwil (BMT) bekerja. Ia melihat kekuatan BMT sebagai lembaga keuangan mikro yang sangat bisa ekonomi masyarakat kecil, para golek itu. BMT yang selama ini membantu produksi dan investasi penguasa kecil, juga menerima tabungan dan titipan Bazis (badan amal zakat, infak dan sedekah). BMT karenanya lebih bisa digerakkan agar ekonomi orang-orang bawah dapat terangkat, dapat membeli barang konsumsi tanpa praktik yang nyaris tak masuk akal.

Di sisi lain praktik a la istri Supri menyiratkan kreativitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya ketika pemerintah abai dan kehilangan akal untuk memakmurkan warga negaranya. Kenyataan ini sekaligus juga menguak betapa kesenjangan antara orang berpunya dan tidak punya makin lebar. Orang-orang menengah cekak di Jakarta, misalnya kelimpungan menghitung sisa untung, manakala terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak. Taruhlah rata-rata sehari menghabiskan sepuluh liter bensin untuk menjalankan mesin mobil, berarti sebulan butuh 300 liter. Pengeluaran untuk bensin orang-orang menengah cekak itu menjadi kira-kira Rp 1,6 juta. Pengeluaran itu bisa lebih mahal bila ditambah dengan biaya tol bagi yang berumah tinggal di pinggir Jakarta. Orang-orang miskin—mau setengah miskin, hampir miskin atau miskin babar blas—setiap harinya kelimpungan untuk urusan perut yang tidak dipedulikan pemerintah.

Kesenjangan di antara orang miskin atau sesama golek saja: antara setengah miskin, hampir miskin dan miskin babar blas, sudah terasa. Apalagi antara golek ini  dan golongan di atasnya, yakni ada golemen atau golongan ekonomi menengah. Belum lagi lebih atasnya: golkar, atau golongan kaya raya.

Sewaktu lebaran angka pemesanan tiket pesawat terbang meningkat dari golemen dan golkar, para golek masih harus cemas dengan menggoreng apa untuk lebaran yang masih ditambah dengan kecemasan kalau tabung 3 kg mereka meledak. Setelah praktik perbankan a la istri Supri mulai bisa dimengerti, kenyataan yang barusan diungkap menjadi lebih susah dipahami. Tinggal di negeri yang sama, menghirup udara yang sama, atau kata sebuah lagu “live under the same sun” tapi tingkat penikmatan berbeda. Segolongan kecil orang bicara tentang bagaimana menikmati gaya hidup, segolongan besar orang cemas dengan nyawanya ketika mau memasak. [ ]