Kaya

Chek Min tidak sungguh sungguh kecil. Sebaliknya, tubuh Chek Min kekar malah hampir gempal dengan tinggi melewati angka 170-an centimeter. Cukup tinggi untuk ukuran rata rata orang Indonesia. Lepas dari perkiraan bentuk tubuh, Chek Min bukan orang kaya—kalau salah satu ukuran kaya atau miskin ialah postur tubuh seperti anggapan sehari hari, “badan subur berarti makmur”.

Barangkali nama lahirnya Mukmin. Saya agak sangsi kalau ia bernama lengkap Ngatimin atau Sutarmin. Saya kira nama itu bukan khas Aceh melainkan Jawa. Meski sempat juga saya bertemu perempuan Tionghoa kelahiran Sumatera Utara yang tinggal di Medan bernama Ngatini. Sayang memang sekali tak sempat bertanya lebih jauh sewaktu bertemu Chek Min di Blang Padang, Banda Aceh, April silam.

Bila di Jawa Timur—dan benar benar bernama Ngatimin—sangat mungkin ia disapa Cak Imin. Mirip panggilan tokoh Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. Tapi “Cak” di Jawa Timur berbeda pengertian dengan “Chek” bahkan “Cek”. Cak lebih serupa pengertian dengan “Che” di Amerika Latin, “Coy” pada anak muda Jakarta, atau “Bung” di komplek pelesiran Kota, Jakarta, semasa masa pergerakan Indonesia 1940-an. Chek di Aceh, katanya, panggilan untuk yang lebih muda, sering juga untuk mereka yang berbadan kecil. Sedangkan Cek ialah panggilan kepada adik orangtua (paman).

“Saya bekerja di sektor properti,” ujarnya di antara sorotan lampu mobil yang melintas jalan sekitar Blang Padang. Mulanya saya kira dia serius, rupanya yang dimaksud kuli bangunan. Okay, deh.

Saat bertemu, Chek Min sedang mengerjakan proyek renovasi total sebuah rumah besar di Peuniti, Banda Aceh. Dari proyek borongan ini ia bakal dapat Rp 1,5 juta. Booming tarif kuli bangunan (maaf: pekerja sektor properti!) rupanya sudah turun seiring surutnya proyek pembangunan rumah rekonstruksi. Bila ditanya berapa uang kini didapat dalam sebulan, Chek Min tak bisa merinci pasti.

“Saya bisa kerjain 3 sampai 5 proyek dalam dua bulan. Dari sana ada dapat 6-7 juta.” Berarti, penghasilan Chek Min sebulan kira kira Rp 3-3,5 juta. Bukan kelompok orang susah?

Menurut kriteria siapapun: bukan.

Sebutlah kriteria Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), standar tujuan pembangunan milenium (millenium development goals/MDGs) atau Bank Dunia. Ukuran kemiskinan a la MDGs, BPS dan Bappenas ialah berpenghasilan di bawah satu dolar AS per hari, atau kalau satu dolar seharga Rp 9.500 maka sebulan sebesar Rp 285 ribu. Sedangkan menurut Bank Dunia satu dolar sehari merupakan kategori miskin absolut, sedangkan yang moderat angkanya 2 dolar AS atau sebulan kira kira Rp 570 ribu.

Bila kriteria miskin mengikuti Bappenas dan MDGs, orang miskin di Indonesia ‘cuma’ 16,58 persen dari total penduduk. Bisalah Indonesia dianggap mampu mencapai target pembangunan milenium. Bisa dimengerti juga mengapa pemerintah merasa cukup memberi uang Rp 100 ribu kepada 19,1 juta penduduk miskin selama 7 bulan sebagai kompensasi penaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) sebesar 28,7 persen. Jumlah uang dan penduduk miskin sama dengan angka kompensasi akibat penaikan harga BBM tahun 2005. Seolah tidak ada perubahan harga konsumsi setelah 3 tahun.

“Anak saya tiga, dua perempuan dan satu laki,” ujar Chek Min. Anak perempuan paling tua sekolah kelas 2 SMU, adiknya yang lelaki SD kelas 5 dan si bungsu kelas 3 SD.

Semua anak dan istrinya tinggal di Pidie. Chek Min pulang sepekan sekali menumpang L300. Ongkos biaya hidupnya sendiri di Banda Aceh sebulan sekira Rp 1,2-1,4 juta (gila betul memang ongkos hidup di kota ini). Uang yang lain ia kirim ke Pidie untuk dikelola sang istri: makan sebulan empat orang, biaya pendidikan, transportasi, barang barang kamar mandi, dan komunikasi. Uang sebanyak Rp 1,8-2,1 juta per bulan diakui masih cukup untuk mereka berempat.

Selama 18 tahun menikah, baru tiga kali Chek Min mengajak istrinya ke Medan. Kota lain, semisal Jakarta atau Penang (Malaysia), belum pernah. Karena ‘cukup’ berarti tidak berlebih. Penghasilan per bulan Chek Min cukup untuk kebutuhan pangan, pakaian, papan dan pergaulan a la kadarnya. Cukup sampai di pemenuhan ‘standar tertentu’. Tidak kekurangan nutrisi, tidak berpakaian lusuh, tidak menggelandang di jalanan, dan tidak kesulitan untuk menghubungi sanak keluarga di tempat lain.

Standar tertentu yang tadi disebut, maksudnya menurut nalar dan pengalaman kita. Bukan patuh pada angka angka yang ditetapkan BPS, Bappenas, MDGs dan Bank Dunia yang kadang sulit diterima nalar. Bila yang dikenali sebagai orang miskin semata mata mengikuti standar dari lembaga lembaga itu, maka kesusahan hidup nyaris tak dikenali.

Sebulan mendapat Rp 3 juta—kadang lebih—tak membuat Check Min berhenti dari cemas. Kita tak bisa menduga dia makhluk yang lupa terima kasih. Ada beberapa kali dalam percakapan kami, ia menyebut “alhamdulillah” atas perolehan uang guna mencukupi—sekali lagi kata ini digunakan—pengeluaran keluarga.

Percakapan kami di Blang Padang, Banda Aceh, akhir April silam, dibayangi berita koran bahwa pemerintah tengah mengaji pilihan: menaikkan subsidi atas BBM atau menaikkan harga jualnya. Chek Min melihat ke langit dengan bulan setengah seperti mendo’a.

Saya tak lagi berjumpa dia ketika sepekan berikutnya Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan kepada wartawan bahwa harga BBM akan dinaikkan sampai 30 persen. Begitu harga jual eceran BBM betul betul naik 28,7 persen pada 24 Mei, tak ada lagi Chek Min di Blang Padang. Barangkali tengah pulang ke Pidie atau ngebut menuntaskan kerja borongannya.

Saya tak terlalu kuatir. Chek Min bukan orang susah, menurut kriteria siapapun. Uang jajannya di Banda Aceh lebih besar dari saya. Biarpun rata rata pedagang makanan telah menaikkan harga Rp 2-6 ribu per hidang, becak dan RBT—atau ojek, istilah yang sudah diambil alih menjadi milik Cinta Laura Kiehl (baca: Cincha Lowra Kil)—menanjak rata rata Rp 5 ribu, saya yakin Chek Min mampu bertahan. Amien.

Namun, bila mengingat dengan harga barang dan jasa lama saja Check Min cemas, bisa dibayangkan tingkat kecemasannya hari hari ini. Anak perempuan paling tua yang duduk di kelas 2 SMU mesti siap siap kekurangan buku pelajaran, begitu juga adiknya yang kelas 5 dan kelas 3 SD. Meski buku pelajaran di SD konon kabarnya bisa diperoleh di sekolah tanpa membeli. Intensitas komunikasi Check Min dengan keluarga harus dikurangi karena pulsa telepon mestinya menjadi barang mewah setelah harga barang pokok meningkat. Agenda membawa keluarga belanja ke Medan harus dibius dulu, sedangkan angan angan pelesir ke Kuala Lumpur atau Penang mesti betul betul dikubur.

Tanpa pelesir, sudah susah mengatur uang Rp 2 juta per bulan untuk hidup berempat. Apalagi bila pelan tapi pasti harga harga mulai menapak ke posisi tertinggi. Suami istri Min mesti mengatur ulang berbagai pos anggaran, dengan kepiawaian matematika dan ilmu akuntansi seadanya.

Saya membayangkan—tapi bukan berkhayal—keadaan lain di ratusan kilometer arah selatan atau tenggara Banda Aceh. Misal saja: Jakarta. Kota itu agaknya tetap menjadi harapan bagi jutaan angan memiliki hidup baik. Dalam percakapan sehari hari, “hidup baik” atau “hidup lebih baik” sering diartikan: kaya. Keluarga paling kaya di kota itu ialah keluarga Menteri Koordinator Perekonomian, Aburizal Bakrie, dengan jumlah harta senilai 5,4 miliar dolar AS atau hampir Rp 52 triliun. Setidaknya sebanyak itulah yang berhasil diitung Majalah Forbes. Sepuluh besar orang kaya di kota itu bila ditotal punya uang sebanyak 27,86 miliar dolar AS. Angkanya hampir sepertiga dari total anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN) 2008 yang sebesar 89 miliar dolar AS.

Bila menyimak kekayaan sepuluh orang di Jakarta itu, tentulah uang seperti dimiliki Chek Min bukan apa apa. Tapi, di kota itu pun, uang Chek Min (Rp 3 juta sebulan) masih berarti banyak, bahkan untuk orang berlima seperti mereka. Buktinya Rp 100 ribu sebulan yang dibagikan di kantor pos masih mengundang antrian.

Itu di sebuah kota yang tetap menjadi gantungan harapan, seperti dibuktikan dengan angka urbanisasi tiap tahun. Saya membayangkan—sekali lagi—di kota kota di mana harapan seringkali harus dicegah. Sebab yang penting ialah bertahan pada hari ini. Di kota dengan penduduk rata rata mengandalkan tenaga—seperti Chek Min—sebagai aset produksi. Mereka tak punya jaminan (asuransi) tetap berpenghasilan bila aset produksi (tenaga) ini menyusut.

Sedihnya, tak ada pemegang wewenang atau kekuasaan yang berniat membuat lebih banyak lagi orang hidup lebih baik (dalam percakapan sehari hari: kaya). Sebab, orang cukup punya uang 1–2 dolar AS per hari dan bebas dari anggapan sebagai orang miskin. Bila masih tak cukup, merasa cemas, tetap susah? “Ah, manusia mana pernah merasa cukup.”

Saya melihat ke langit yang kali ini tanpa bulan, tanpa mendo’a. Masih di Blang Padang. []

(Rumoh PMI Edisi Juni 2008 | Kolom Ureung Gampong)